TIMES BIAK, JAKARTA – Peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dinilai penting untuk memperkuat struktur ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya lewat gagasan amandemen kelima Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, meski langkah politik tersebut dipandang masih panjang dan penuh tantangan.
Hal itu disampaikan Anggota Badan Pengkajian MPR RI sekaligus Senator DPD RI, Dedi Iskandar Batubara, dalam diskusi bertajuk “Wewenang dan Pola Hubungan Antarlembaga Negara dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia” yang digelar di ruang PPID, Kompleks Parlemen, Jakarta. Diskusi ini diselenggarakan Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bersama Biro Humas dan Sistem Informasi Setjen MPR, menghadirkan juga Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI) Abdul Hakim sebagai narasumber dengan moderator Asep Subagyo.
Menurut Dedi, sistem politik Indonesia saat ini masih menempatkan eksekutif dalam posisi yang jauh lebih dominan dibandingkan legislatif maupun yudikatif. Padahal, prinsip trias politica mengandaikan adanya keseimbangan kekuasaan. “Eksekutif kita hari ini sangat kuat. Bahkan dalam proses legislasi, pemerintah memegang hak mengajukan, membahas, hingga mengesahkan undang-undang. Karena itu, peran lembaga legislatif, termasuk DPD, harus lebih jelas dan tegas,” ujarnya.
Refleksi 21 tahun perjalanan DPD menunjukkan lembaga ini dirancang sebagai penyeimbang, terutama dalam legislasi yang berkaitan dengan daerah. Namun kewenangan DPD hingga kini masih terbatas pada usulan rancangan undang-undang tertentu. Untuk itu, Dedi menekankan perlunya penguatan melalui tiga strategi utama:
-
Amandemen UUD 1945 untuk memperkuat posisi DPD sebagai kamar kedua parlemen sekaligus meneguhkan sistem presidensial.
-
Optimalisasi fungsi pengawasan, khususnya terkait pelaksanaan undang-undang, dana transfer, dan kebijakan yang bersentuhan langsung dengan kepentingan daerah.
-
Kolaborasi pengawasan, agar program pemerintah yang dibiayai APBN benar-benar terlaksana di daerah.
“Walau kewenangan legislasi DPD masih terbatas pada pengusulan, fungsi pengawasan tidak boleh diabaikan. Justru di situlah peran penting DPD yang harus terus dikembangkan demi memperkuat sistem ketatanegaraan kita,” tegas Dedi.
Pola Demokrasi Hibrid ala Indonesia
Dalam forum yang sama, Abdul Hakim menyoroti perjalanan panjang ketatanegaraan Indonesia yang memperlihatkan corak unik. Secara konstitusi, Indonesia menganut sistem presidensial, namun praktik politik kerap berjalan berbeda.
Ia menyinggung periode Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan UUD Sementara 1950 yang sempat menghadirkan sistem federal dan parlementer. Namun, sistem itu tidak bertahan lama. Sepanjang 1950–1959, kabinet berganti hingga tujuh kali sebelum Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret 5 Juli 1959 yang mengembalikan UUD 1945.
Meski kembali ke presidensial, Abdul Hakim menilai praktik politik Indonesia tetap berbeda dari model klasik. Jalan tengah terlihat dari berbagai aspek, mulai dari relasi sipil-militer pascareformasi hingga kebijakan otonomi daerah. Indonesia tidak sepenuhnya sentralistik maupun federalistik, melainkan hibrid dengan model khusus di Aceh, Papua, dan Yogyakarta.
Selain itu, tidak adanya oposisi formal membuat peran penyeimbang kerap dijalankan oleh masyarakat sipil, media, lembaga independen, hingga gerakan mahasiswa. Kelompok-kelompok inilah yang menjaga keseimbangan kekuasaan lewat kritik dan kontrol sosial.
“Inilah wajah demokrasi kita: hibrid, khas, lahir dari kompromi sejarah, budaya, dan politik bangsa. Demokrasi jalan ketiga ala Indonesia,” kata Abdul Hakim. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Membangun Demokrasi Hibrid, Menegaskan Peran Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan
Pewarta | : Rochmat Shobirin |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |